senang akhirnya bisa menulis kembali. tak terasa sudah 366 hari kita jalani di tahun 2016 ini dan beberapa jam lagi kita akan melangkah ke tahun yang baru. saya tergerak untuk menulis sedikit dari apa yang ada dipikiran saya mengenai tahun ini (2016); mengenai apa yang saya lihat di internet, mengenai materialisme, dan banyak hal lain hehe.
di beberapa media sosial yang saya miliki, jika melihat dari feed yang berbau curhat (ga usah bahas politik ah, capek!), sepertinya tahun ini adalah tahun galau bagi banyak anak muda, baik yang fresh graduate maupun yang sudah berumur dan/atau lewat 1/4 abad seperti saya ha...ha...ha. pertanyaan yang kerap didengar selalu sama, yakni "kapan lulus?", "kapan kerja?", "kapan nikah?", dan lain sebagainya. bagi yang sedang galau pun akhirnya bertanya kepada diri sendiri, "kapan punya pasangan?", "kapan punya duit sendiri?" dan masih banyak lagi. sepertinya memang dijaman milenial ini begitu banyak hal yang orang selalu renungkan atau gumulkan dengan diri sendiri. apakah ini merupakan gejala zaman, sayapun tidak bisa memastikan. Namun, yang pasti, selalu saja ada hal yang kita galaukan/gumulkan dan entah mengapa hal-hal yang kita galaukan itu kerapkali menyoal hal-hal yang belum kita miliki, yang menurut standar orang lain (bahkan orang tua) harus kita miliki secepatnya.
saya mungkin terpaksa harus mengiyakan bahwa kita harus memiliki banyak hal diumur seperti ini, entah pekerjaan atau uang atau posisi atau sejumlah benda atau apapun. semua itu adalah tuntutan zaman bagi anak muda. Namun, bukankah nasib seseorang itu sudah ada yang mengatur? sebagai seorang teis, saya pikir bahwa nasib saya sendiri sudah Tuhan yang mengatur sehingga kita hanya perlu berusaha. Namun, apa jadinya jika apa yang sudah Tuhan gariskan tidak sesuai dengan keinginan kita atau tidak sesuai dengan tuntutan sosial? haruskah kita mengeluarkan segenap energi dan menghabiskan waktu untuk memperoleh apa yang zaman ini tuntut kita harus miliki?
saya pikir kita tidak perlu munafik dan kita harus jujur terhadap diri sendiri bahwa kita membutuhkan semuanya itu. uang memang bukan segalanya dalam hidup ini, tetapi segala sesuatu memang butuh uang. untuk gedung resepsi perlu uang, untuk katering butuh uang, untuk bayar kontrakan butuh uang. kekasih itu bukan segalanya, tetapi manusia itu mahluk sosial dan hidup sendiri itu tidak enak. manusia perlu teman berbagi; perlu teman hingga pasangan hidup. Namun, apakah kita harus mengerahkan seluruh energi kita untuk itu semua? apakah kita harus memfokuskan seluruh pikiran kita untuk itu semua?
kemudian saya terinspirasi oleh sebuah penggalan dalam injil yang menurut saya menarik. matius 6 : 32a mencatat, "semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah". dalam konteks bagian itu, apa yang dimaksud dengan "semua itu"? yang dimaksudkan adalah makanan, minuman, dan pakaian (matius 6:31). Namun, bukankah kita membutuhkan itu semua? lalu jika kita mengejar semua itu, apakah kita lantas tak ubahnya sama dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah?
ketika saya melihat bagian itu, saya jadi berpikir, jikalau memang sekarang saya sedang mengejar hal-hal yang demikian, dan jikalau saya memanggil diri saya sebagai kristen, maka saya akan terjun kedalam sebuah ironi, tatkala saya mengejar hal yang dikejar oleh mereka yang tak mengenal Allah. lalu apa bedanya saya dengan mereka?
memang didalam matius dituliskan bahwa Allah mengerti kita membutuhkan semuanya itu dan akan menyediakannya tatkala kita berusaha. Namun, isu yang sangat penting disini adalah perintah "carilah kerajaan Allah dan kebenaranNya". Bagaimana caranya mencari kerajaan Allah saat kita sedang fokus berhitung didalam pekerjaan? atau dalam mendesain sesuatu? kemana pikiran kita dan perasaan kita harus kita tempatkan dalam proses pencarian kerajaan Allah tatkala konsentrasi kita tertuju pada apa yang ada dihadapan kita?
pikiran saya akhirnya berlabuh pada suatu hal, yakni ketamakan. Ya! ketamakanlah yang membuat bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah menyerang dan menaklukkan bangsa lain untuk dijarah. ketamakanlah yang membuat kita jahat. ketamakanlah yang membuat kita berlaku tidak adil. keserakahanlah yang membuat kita menghancurkan orang lain. ketamakan akan berujung pada sebuah target, dimana kekecewaan dan kemarahan sedang menunggu tatkala kita tidak bisa mencapai target yang kita buat sendiri dan kita kenakan sendiri pada diri kita. aktualisasi diri yang tidak sesuai kehendak Allah yang menyebabkan kita menjadi orang yang selalu kuatir. kesombongan pada diri sendirilah yang membuat kita akhirnya rendah diri tatkala dalam izin Tuhan tren positif yang kita alami akhirnya berhenti. akhir kata, semua kekuatiran terjadi karena kita tidak (atau terlambat) mengosongkan diri sekosong-kosongnya, tetapi mengisinya dengan kehendak dan nafsu kita sendiri dan bukan kehendak Allah.
dalam waktu-waktu kebelakang, saya seperti mengerti akan suatu hal, jikalau kerendahan hati dan tekad mengosongkan diri itu sangat dekat. mengosongkan diri dalam arti menghilangkan segenap ego yang kita punya, menghilangkan segala ketamakan dan rendah diri, lalu berfokus dan mengisinya dengan apa yang Allah kehendaki. mungkin, dalam hidup beriman, di bagian inilah yang barangkali sulit bagi kita untuk dijalani karena Allah adalah pribadi yang berkehendak, sedangkan kita sendiri adalah pribadi yang berkehendak juga. Jadi, kehendak siapakah yang harus kita ikuti? inilah bagian yang sangat sulit.
disinilah terlihat bahwa betapa kita memerlukan pertolongan Tuhan, pertama, untuk melunakkan hati kita yang keras; yang kerapkali mengikuti kehendak diri sendiri. kedua, kita harus menyadari bahwa kita adalah mahluk yang sejatinya telah berdosa dan dengan kerendahan hati mengakui ketidakmampuan kita untuk hidup benar dihadapan Tuhan tanpa Tuhan ikut campur. ketiga, mengosongkan diri dan menjadikan kehendak Allah, seperti yang telah IA firmankan menjadi fokus kita. Allahlah yang harus kita senangkan sekarang, bukan orang tua, bukan kekasih, bukan teman, bukan siapapun. Allah adalah kasih dan IA mencintai keadilan dan hukum, maka hiduplah dan berlakulah adil. Allah membenci dosa maka kita harus memelihara hidup agar tetap kudus. berat, bukan? ya, memang berat jika kita tidak berserah sepenuhnya.
"apakah saya sudah mengosongkan diri dan mengikuti kehendak Allah?" harus tetap kita tanyakan pada diri sendiri. sekarang, jikalau pertanyaan itu ditanyakan, apakah kita sudah melakukannya?
selamat menyongsong tahun baru, selamat mengosongkan diri.