Kemarin, 20 september 2012,
pemilu DKI Jakarta telah dilaksanakan. Hasil perhitungan cepat dari berbagai
lembaga menghasilkan konklusi bahwa pasangan jokowi-ahok menang atas pasangan
foke-nara dengan selisih suara antara 7 – 9 %. Dengan selisih suara yang
terbilang cukup sedikit secara persentil itu, bisa dikatakan bahwa pemilu DKI
Jakarta sangat seru dan menyita perhatian banyak pihak, bahkan masyarakat
Indonesia nonwarga Jakarta. Kemenangan jokowi ini mengingatkan saya akan david cook, salah seorang juara American idol
beberapa tahun lalu, dimana berdiri sebagai runner up adalah david archuleta.
Apa hubungannya jokowi dan juara American idol?
Sewaktu di final American idol
era david cook, kedua david dipersilahkan untuk menyanyikan 3 lagu dalam 3 sesi
penampilan silih berganti. Suatu hal yang menarik dimana salah seorang juri,
yaitu simon cowell, dari 3 penampilan tersebut sangat memuji david archuleta,
tetapi memojokkan david cook. Namun, akhirnya david cooklah yang menjadi juara
American idol saat itu dan david archuleta harus puas sebagai runner-up.
Banyak pendapat yang mengatakan
bahwa kritik simon cowell terhadap david cook di tiga penampilannya justru
membuat masyarakat amerika menjadi simpati terhadap david cook sehingga aliran
suara pun mengalir ke david cook. Ada juga pendapat bahwa david archuleta
terlalu muda untuk menjadi juara American idol. Namun, untuk kasus pemilihan
yang sifatnya one-man-one-vote ini,
factor subyektivitas pun harus diperhitungkan. Anda yang sering menyaksikan
American idol pun tahu bagaimana jika simon cowel mengkritik penyanyi yang
dimatanya tidak bagus. Sangat pedas. Arahan simpati pun terkonversi menjadi
aliran suara. Alasannya sederhana. Pada umumnya, rasa simpati menyebabkan
seseorang ingin mengangkat mereka yang sedang terpuruk dan membiarkan mereka
yang sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Jokowi-ahok seperti david cook.
Hinaan dalam bentuk rasisme, terlebih lagi kultwit yang dilakukan akun twitter
@trimomacan2000 yang memojokkan jokowi-ahok justru meningkatkan simpati warga
jakarta terhadap pasangan ini, terlepas dari siapapun atau dari pihak manapun
yang melepas berita yang tidak mengenakkan tentang jokowi-ahok. Disisi lain,
dengan berita tak mengenakkan yang mencecar mereka, pasangan jokowi-ahok lebih
memilih berkampanye langsung kepada warga sembari menunjukkan bahwa berita
burung tentang mereka itu tidak benar adanya. Sepertinya pihak-pihak yang ingin
main kotor terkena bumerang dari perbuatan mereka sendiri.
Terkadang, strategi yang bagus
dalam menghadapi orang sirik adalah acuh tak acuh. Kita tidak perlu peduli
dengan berita buruk yang dihembuskan orang tentang kita. Sikap ofensif hanya
akan semakin memperkeruh suasana dan akhirnya orang lain menilai kalau kita
ternyata gampang sekali terpancing emosinya. Yang perlu kita lakukan hanyalah
membuktikan bahwa mereka tidak benar dengan karya yang nyata.
Andaikata benar bahwa jokowi-ahok
merupakan pasangan terpilih gubernur dan wakil gubernur Jakarta, perlu kita perhatikan
beberapa hal. Pertama, jokowi-ahok adalah manusia biasa. Mereka bisa berbuat
kesalahan. Tugas warga Jakarta sebagai pemberi legitimasi kepada mereka adalah
mengawal keberjalanan pemerintahan DKI Jakarta. Kedua, janganlah berekspektasi
terlalu tinggi kepada jokowi-ahok. Ingatlah bahwa mereka pun manusia biasa.
Jangan sampai terjadi bahwasanya sekali jokowi-ahok melakukan kesalahan
kemudian masyarakat menjadi kecewa secara berlebihan. Keadaan ideal itu sulit
dicapai. Yang bisa dilakukan oleh pemimpin adalah mengusahakan agar keadaan
berada pada limit mendekati ideal. Jika tidak bisa idealpun, masyarakat harus
realistis, setidaknya pasangan tersebut sudah berusaha sebaik mungkin, bukan?
Setidaknya, masalah birokrasi,
kemacetan dan banjirlah yang harus diprioritaskan pasangan yang menang. Yang
terpenting diatas semuanya, semoga pasangan jokowi-ahok – andai menang – tidak
akan melakukan tindak pidana KKN sekecil apapun bentuknya.
Selamat menyongsong Jakarta yang
baru.
No comments:
Post a Comment