Sebenarnya ini hanya curhatan saja hehehe tidak harus
dianggap serius.
Beberapa bulan yang lalu saya diwisuda dari ITB sebagai
sarjana teknik pertambangan. Momen seperti itu memang momen yang sangat
membanggakan (setidaknya bagi orang tua) karena saya yang telah berhasil
menyelesaikan studi. Hanya saja, dengan mengesampingkan setiap kenakalan yang
pernah saya lakukan dikampus (hehehe), ada satu hal yang sampai sekarang
menjadi keresahan saya, yaitu tentang kiprah kami, anak-anak Indonesia timur
yang berkuliah diuniversitas ternama di Indonesia, entah itu ITB, UI, UGM, dsb.
Saya sering memperhatikan trend anak-anak Indonesia timur
yang masuk program S1 di ITB dan beberapa kampus ternama lain, dimana trend ini
ada dalam hal jumlah. Ternyata memang, jumlah anak-anak Indonesia timur yang
berkuliah di kampus ternama di Indonesia memiliki persentasi yang sangat kecil
terhadap total mahasiswa S1 yang berkuliah dikampus tersebut. Apa yang salah
dengan pendidikan dasar dan menengah disana (timur)? Apakah kami yang dari
Indonesia timur masih kalah bersaing dengan siswa-siswi yang ada dipulau jawa
(atau Indonesia barat pada umumnya) untuk berebut kursi di universitas ternama
dinegeri ini?
Mungkin penerimaan mahasiswa baru lewat jalur undangan atau
program afirmasi merupakan suatu terobosan yang baik untuk menjaring
siswa-siswi terbaik untuk kuliah dikampus ternama karena membuka kesempatan
bagi seluruh siswa-siswi diseluruh Indonesia untuk beradu nilai rapor. Namun,
statistik tetap berbicara. Ada yang diterima, tetapi tidak bisa bertahan. ada
yang mampu bertahan, tetapi tidak lulus tepat waktu. Ada yang mampu bertahan
dan lulus tepat waktu, tetapi jumlahnya sangat sedikit. kalau saya perhatikan,
jumlah mahasiswa S1 yang diterima di ITB selama satu dekade terakhir pun jumlahnya
bahkan jauh lebih sedikit dibanding jumlah satu angkatan yang diterima di ITB.
10 tahun berlalu dan dikampus saya sendiri, jumlah mahasiswa asal Indonesia
timur (contohnya papua) hanya dapat dihitung jari saja.
Apakah anak-anak Indonesia timur ini masih terisolasi?
Secara geografis tidak, tetapi transportasi sebenarnya sudah lancar. Ada pesawat
dan kapal laut. Secara informasi sih relatif, sebab diperkotaan pun sudah
dijangkau internet. Kalau kemampuan ekonomi, beasiswa pun sebenarnya ada. Lalu,
apa yang sebenarnya terjadi? I have no idea.
Teman-teman angkatan saya semasa SMA pun sebenarnya banyak
yang pintar (bahkan lebih pintar dari saya, ya walau saya gak bego-bego amat
sih), tetapi hanya saya yang termasuk “beruntung” bisa menikmati pendidikan
program sarjana dikampus ternama (universitas negeri) seperti ITB, itupun
setelah menganggur setahun untuk belajar lagi dan mempelajari peta persaingan
dipulau jawa (saya diterima di ITB lewat SNMPTN tertulis, sebab tahun 2008 dan
2009 belum ada penerimaan lewat jalur undangan).
Lalu, apakah universitas-universitas ternama ini kurang
meng-indonesia timur? Tidak juga, soalnya toh ada juga siswa-siswi asal
Indonesia timur yang diterima, sekalipun jumlahnya sedikit. Secara umum, kalau
sedikit sekali anak-anak Indonesia timur yang mendapatkan pendidikan yang
berkualitas (atau seminimal-minimalnya menamatkan jenjang S1), lalu siapa yang
akan membangun daerah mereka? Siapa yang kelak duduk sebagai pemangku kebijakan
disana, terutama di era otonomi khusus seperti ini? I have no idea.
Jika kita membelah Indonesia menjadi dua bagian, yaitu barat
dan timur, mungkin daerah Sulawesi (mewakili bagian timur) cukup besar dalam
menyumbang putra-putri terbaik mereka untuk masuk ke kampus-kampus terbaik di
Indonesia, bahkan mampu lulus dengan baik, tepat waktu, bahkan cumlaude.
Ironisnya adalah, semakin ketimur, semakin sepi. Lalu, kira-kira bagaimana
putra-putri terbaik dari Indonesia timur dapat dijaring dalam jumlah besar
dengan sistem yang ada sekarang? I have no idea.
Entah orang akan menyalahkan pemerintah, ketimpangan
pembangunan antara barat dan timur, ketimpangan pendidikan antara barat dan
timur, ketimpangan fasilitas dan sarana prasarana antara barat dan timur,
tetapi yang pasti, siswa-siswi yang berasal dari Indonesia timur harus berusaha
jauh lebih keras untuk bisa masuk berkuliah dikampus ternama melebihi usaha
siswa-siswi di Indonesia barat. Dari posisi geografis pun itu sudah dapat
terlihat, belum lagi jika kita melihat sendiri bagaimana kondisi anak-anak
disana (ditimur).
Sekarang sudah era otonomi khusus. Anak-anak daerah
disarankan untuk berusaha “lebih keras” untuk bisa masuk PTN ternama supaya
kelak mereka bisa mengenyam pendidikan yang baik kemudian lulus dan kembali ke
daerah untuk membangun daerahnya. Kalau memang anak-anak ini harus “berusaha
jauh lebih keras”, sekarang, apakah dengan kebijakan yang ada sekarang, para
elit perguruan tinggi maupun dikementerian pendidikan sudah merasa cukup dengan
semua itu? Jika memang sudah cukup, tetapi mengapa masih sedikit yang diterima
di PTN ternama? Serasa seperti loop of evil.
Setelah pusing berpikir penyebabnya akhirnya saya memilih
untuk positive thinking. Mereka yang tidak masuk PTN ternama mungkin diawal
sudah tidak berminat dan memilih untuk berkuliah di daerah masing-masing, entah
karena dekat dengan orang tua (rumah), sudah punya usaha sendiri, sudah menjadi
pegawai magang di instansi pemerintah, dan lain sebagainya. Namun, jika memang
demikian, maka support PTN mapan dan kementerian pendidikan harus menyentuh
universitas di daerah. Bukankah kementerian pendidikan adalah kementerian yang
mengelola porsi APBN sangat besar di Indonesia? Terima kasih jika memang
support telah diberikan.