Friday, July 24, 2015

Kapan wisuda?

"Kapan wisuda?" atau "kapan lulus?" umumnya adalah pertanyaan yang mungkin menyakitkan bagi mahasiswa yang belum juga lulus. Sebenarnya yang saya pikirkan tentang ini adalah, apakah dalam konteks etiket kita boleh bertanya seperti itu pada seseorang?

Saya pikir rasanya tidak sopan jika kita bertanya hal seperti itu jika orang yang kita tujukan pertanyaan demikian tidak terlalu kita kenal dengan baik. memang pertanyaan "kapan wisuda?" sering jadi bahan canda tawa oleh sesama sahabat karib bagi teman mereka yang belum lulus untuk menghangatkan suasana saja. Namun, kalau kita bertanya pada orang yang baru kenal atau orang yang tidak terlalu kita kenal, hal itu akan terasa bagi orang itu seperti kita sedang mencoba mencabut giginya hahaha. Kadang kita mungkin tidak tahu kalau kita sedang berhadapan dengan orang yang bergumul berat soal studinya, entah karena kuliah atau skripsi yang tak kunjung beres, masalah keluarga, kesulitan keuangan, dan lain sebagainya. Ketidaktahuan kita yang diikuti dengan cepatnya kita berkata-kata akan sangat menyakiti orang lain. Jadi, sebaiknya pertanyaan demikian harus dilontarkan dengan hati-hati dengan melihat siapa orang yang sedang kita tanya.

Sebenarnya ada satu pertanyaan yang bisa menggantikan "kapan wisuda?" atau "kapan lulus?" untuk diberikan pada seseorang yang ingin kita ketahui apakah dia sudah lulus atau belum tanpa harus secara frontal menanyakannya, yaitu "apa masih di bandung?" jika yang bersangkutan berkuliah dibandung. Namun, intinya sama saja bahwa pertanyaan itu ditujukan untuk menanyakan apakah seseorang sudah lulus atau tidak. Jika seseorang berkuliah dibandung dan ternyata dia masih dibandung, ada kemungkinan dia belum lulus atau dia sudah lulus, tetapi belum kerja.

Ketika sedang dalam menyelesaikan tugas akhir, sering saya mendapat pertanyaan-pertanyaan, seperti "kapan wisuda?", "kapan lulus?", atau "apakah masih di Bandung?", bahkan ketiga pertanyaan itu pernah ditanyakan oleh orang yang sama. mungkin kalau pertanyaan pertama dan kedua bisa dijawab dengan, "di waktu yang tepat". Namun, pertanyaan ketiga ini sebenarnya sedikit terkesan lebih menyakitkan karena sisipan pertanyaan "kapan lulus?" itu tersirat didalamnya. bagaimana menjawabnya? jawab saja, "iya, masih dibandung" sambil menggerutu, "dasar ni orang, jago betul dia bikin pesan tersembunyi" hahahaha.

Diatas segalanya, kita perlu punya empati bagi mereka yang belum lulus karena mengalami suatu kendala yang nyatanya kita tidak bisa membantunya untuk menyelesaikannya. sebaiknya hindarilah bertanya, "kapan lulus?" kepada orang yang tidak terlalu kita kenal atau yang baru saja dikenal sebagai bentuk empati.

PTN ternama yang meng-Indonesia timur?



Sebenarnya ini hanya curhatan saja hehehe tidak harus dianggap serius.

Beberapa bulan yang lalu saya diwisuda dari ITB sebagai sarjana teknik pertambangan. Momen seperti itu memang momen yang sangat membanggakan (setidaknya bagi orang tua) karena saya yang telah berhasil menyelesaikan studi. Hanya saja, dengan mengesampingkan setiap kenakalan yang pernah saya lakukan dikampus (hehehe), ada satu hal yang sampai sekarang menjadi keresahan saya, yaitu tentang kiprah kami, anak-anak Indonesia timur yang berkuliah diuniversitas ternama di Indonesia, entah itu ITB, UI, UGM, dsb.

Saya sering memperhatikan trend anak-anak Indonesia timur yang masuk program S1 di ITB dan beberapa kampus ternama lain, dimana trend ini ada dalam hal jumlah. Ternyata memang, jumlah anak-anak Indonesia timur yang berkuliah di kampus ternama di Indonesia memiliki persentasi yang sangat kecil terhadap total mahasiswa S1 yang berkuliah dikampus tersebut. Apa yang salah dengan pendidikan dasar dan menengah disana (timur)? Apakah kami yang dari Indonesia timur masih kalah bersaing dengan siswa-siswi yang ada dipulau jawa (atau Indonesia barat pada umumnya) untuk berebut kursi di universitas ternama dinegeri ini?

Mungkin penerimaan mahasiswa baru lewat jalur undangan atau program afirmasi merupakan suatu terobosan yang baik untuk menjaring siswa-siswi terbaik untuk kuliah dikampus ternama karena membuka kesempatan bagi seluruh siswa-siswi diseluruh Indonesia untuk beradu nilai rapor. Namun, statistik tetap berbicara. Ada yang diterima, tetapi tidak bisa bertahan. ada yang mampu bertahan, tetapi tidak lulus tepat waktu. Ada yang mampu bertahan dan lulus tepat waktu, tetapi jumlahnya sangat sedikit. kalau saya perhatikan, jumlah mahasiswa S1 yang diterima di ITB selama satu dekade terakhir pun jumlahnya bahkan jauh lebih sedikit dibanding jumlah satu angkatan yang diterima di ITB. 10 tahun berlalu dan dikampus saya sendiri, jumlah mahasiswa asal Indonesia timur (contohnya papua) hanya dapat dihitung jari saja.

Apakah anak-anak Indonesia timur ini masih terisolasi? Secara geografis tidak, tetapi transportasi sebenarnya sudah lancar. Ada pesawat dan kapal laut. Secara informasi sih relatif, sebab diperkotaan pun sudah dijangkau internet. Kalau kemampuan ekonomi, beasiswa pun sebenarnya ada. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? I have no idea.

Teman-teman angkatan saya semasa SMA pun sebenarnya banyak yang pintar (bahkan lebih pintar dari saya, ya walau saya gak bego-bego amat sih), tetapi hanya saya yang termasuk “beruntung” bisa menikmati pendidikan program sarjana dikampus ternama (universitas negeri) seperti ITB, itupun setelah menganggur setahun untuk belajar lagi dan mempelajari peta persaingan dipulau jawa (saya diterima di ITB lewat SNMPTN tertulis, sebab tahun 2008 dan 2009 belum ada penerimaan lewat jalur undangan).

Lalu, apakah universitas-universitas ternama ini kurang meng-indonesia timur? Tidak juga, soalnya toh ada juga siswa-siswi asal Indonesia timur yang diterima, sekalipun jumlahnya sedikit. Secara umum, kalau sedikit sekali anak-anak Indonesia timur yang mendapatkan pendidikan yang berkualitas (atau seminimal-minimalnya menamatkan jenjang S1), lalu siapa yang akan membangun daerah mereka? Siapa yang kelak duduk sebagai pemangku kebijakan disana, terutama di era otonomi khusus seperti ini? I have no idea.

Jika kita membelah Indonesia menjadi dua bagian, yaitu barat dan timur, mungkin daerah Sulawesi (mewakili bagian timur) cukup besar dalam menyumbang putra-putri terbaik mereka untuk masuk ke kampus-kampus terbaik di Indonesia, bahkan mampu lulus dengan baik, tepat waktu, bahkan cumlaude. Ironisnya adalah, semakin ketimur, semakin sepi. Lalu, kira-kira bagaimana putra-putri terbaik dari Indonesia timur dapat dijaring dalam jumlah besar dengan sistem yang ada sekarang? I have no idea.

Entah orang akan menyalahkan pemerintah, ketimpangan pembangunan antara barat dan timur, ketimpangan pendidikan antara barat dan timur, ketimpangan fasilitas dan sarana prasarana antara barat dan timur, tetapi yang pasti, siswa-siswi yang berasal dari Indonesia timur harus berusaha jauh lebih keras untuk bisa masuk berkuliah dikampus ternama melebihi usaha siswa-siswi di Indonesia barat. Dari posisi geografis pun itu sudah dapat terlihat, belum lagi jika kita melihat sendiri bagaimana kondisi anak-anak disana (ditimur).

Sekarang sudah era otonomi khusus. Anak-anak daerah disarankan untuk berusaha “lebih keras” untuk bisa masuk PTN ternama supaya kelak mereka bisa mengenyam pendidikan yang baik kemudian lulus dan kembali ke daerah untuk membangun daerahnya. Kalau memang anak-anak ini harus “berusaha jauh lebih keras”, sekarang, apakah dengan kebijakan yang ada sekarang, para elit perguruan tinggi maupun dikementerian pendidikan sudah merasa cukup dengan semua itu? Jika memang sudah cukup, tetapi mengapa masih sedikit yang diterima di PTN ternama? Serasa seperti loop of evil.

Setelah pusing berpikir penyebabnya akhirnya saya memilih untuk positive thinking. Mereka yang tidak masuk PTN ternama mungkin diawal sudah tidak berminat dan memilih untuk berkuliah di daerah masing-masing, entah karena dekat dengan orang tua (rumah), sudah punya usaha sendiri, sudah menjadi pegawai magang di instansi pemerintah, dan lain sebagainya. Namun, jika memang demikian, maka support PTN mapan dan kementerian pendidikan harus menyentuh universitas di daerah. Bukankah kementerian pendidikan adalah kementerian yang mengelola porsi APBN sangat besar di Indonesia? Terima kasih jika memang support telah diberikan.

Jadi orang asing di negeri sendiri



Nama saya marihot. Kalau orang mendengar nama saya, mungkin mereka akan segera bisa menebak apa suku saya, yaitu batak. Namun, ketika mereka bertanya asal saya, dan saya bertanya balik, “coba tebak!” dan mereka menjawab, “dari sumut” dan saya menjawab, “salah!” mereka jadi bingung. Yang jelas mereka tidak mungkin menebak “Jakarta” karena kulit saya yang gelap hahaha (sekalipun rambut tidak keriting, mata menyala) dan logat saya yang sedikit berbeda. Mereka lebih bingung lagi ketika saya mengatakan bahwa saya berasal dari merauke, kabupaten paling timur di Indonesia, yang terkenal melalui lagu perjuangan “dari sabang sampai merauke”. Pertanyaan selanjutnya dari orang-orang pasti bisa ditebak, “kok bisa kamu sampai kesana?” yang diiringi kebingungan mereka lagi ketika saya mengatakan bahwa saya lahir disana hahahaha.

Sebenarnya, salah satu resiko orang lahir diperantauan itu adalah tidak "jelas" darimana asalnya. Saya ini orang batak, tetapi tidak berasal dari sumut. Saya berasal dari merauke, tetapi tidak menunjukkan ciri orang Melanesia (yang turun temurun mendiami pulau papua). Lalu siapa saya sebenarnya? Hahaha.

Satu hal yang mungkin terdengar skeptis, tetapi sebenarnya adalah realita ialah tatkala baik disumatera utara maupun di papua, saya tetap orang “asing”. Di sumut, yang kenal saya hanya keluarga besar saja, dan tentu saja kalau di sumut saya akan disebut orang papua (ketika saya pulang kampung, saya memang disebut demikian oleh beberapa orang hehehe). Di papua, yang kenal sih banyak, tetapi tetap saya bukan aseli disitu, melainkan orang batak yang “kebetulan” lahir disana ahahaha. Sebagai perantau, mungkin takdir yang saya harus akui dengan lapang dada adalah dimanapun saya berdiri, saya tetap orang “asing”.

orang asing seperti saya mungkin akan mengalami beberapa hal aneh, apalagi dalam hal identitas budaya. Orang batak dari papua, tetapi tidak bisa berbicara dalam bahasa batak (sekalipun kalau dengerin orang ngomong sih ngerti). Berbahasa papua pun (misal suku marind) saya tidak bisa. Namun, pakaian adat saya ya ulos. Lalu bagaimana? Bingung kan yah?

Sebenarnya bukan hal yang buruk menjadi orang “asing”. Toh, selama menjadi batak dan punya marga masih dianggap batak lah ya hahaha hanya saja mungkin perantau harus berusaha lebih keras untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kemanusian karena status orang “asing” ini (apalagi dengan era otsus sekarang). Namun, setidaknya saya masih warga negara Indonesia, berpaspor Indonesia, dan berKTP merauke. Baik perantau maupun warga lokal sama-sama dilindungi oleh hukum; dan tentu saja kepada mereka dikenakan hukum sebagaimana yang berlaku dalam konstitusi.

Tetap semangat untuk para perantau. Kehidupan memihak pada yang kuat.