Friday, July 24, 2015

PTN ternama yang meng-Indonesia timur?



Sebenarnya ini hanya curhatan saja hehehe tidak harus dianggap serius.

Beberapa bulan yang lalu saya diwisuda dari ITB sebagai sarjana teknik pertambangan. Momen seperti itu memang momen yang sangat membanggakan (setidaknya bagi orang tua) karena saya yang telah berhasil menyelesaikan studi. Hanya saja, dengan mengesampingkan setiap kenakalan yang pernah saya lakukan dikampus (hehehe), ada satu hal yang sampai sekarang menjadi keresahan saya, yaitu tentang kiprah kami, anak-anak Indonesia timur yang berkuliah diuniversitas ternama di Indonesia, entah itu ITB, UI, UGM, dsb.

Saya sering memperhatikan trend anak-anak Indonesia timur yang masuk program S1 di ITB dan beberapa kampus ternama lain, dimana trend ini ada dalam hal jumlah. Ternyata memang, jumlah anak-anak Indonesia timur yang berkuliah di kampus ternama di Indonesia memiliki persentasi yang sangat kecil terhadap total mahasiswa S1 yang berkuliah dikampus tersebut. Apa yang salah dengan pendidikan dasar dan menengah disana (timur)? Apakah kami yang dari Indonesia timur masih kalah bersaing dengan siswa-siswi yang ada dipulau jawa (atau Indonesia barat pada umumnya) untuk berebut kursi di universitas ternama dinegeri ini?

Mungkin penerimaan mahasiswa baru lewat jalur undangan atau program afirmasi merupakan suatu terobosan yang baik untuk menjaring siswa-siswi terbaik untuk kuliah dikampus ternama karena membuka kesempatan bagi seluruh siswa-siswi diseluruh Indonesia untuk beradu nilai rapor. Namun, statistik tetap berbicara. Ada yang diterima, tetapi tidak bisa bertahan. ada yang mampu bertahan, tetapi tidak lulus tepat waktu. Ada yang mampu bertahan dan lulus tepat waktu, tetapi jumlahnya sangat sedikit. kalau saya perhatikan, jumlah mahasiswa S1 yang diterima di ITB selama satu dekade terakhir pun jumlahnya bahkan jauh lebih sedikit dibanding jumlah satu angkatan yang diterima di ITB. 10 tahun berlalu dan dikampus saya sendiri, jumlah mahasiswa asal Indonesia timur (contohnya papua) hanya dapat dihitung jari saja.

Apakah anak-anak Indonesia timur ini masih terisolasi? Secara geografis tidak, tetapi transportasi sebenarnya sudah lancar. Ada pesawat dan kapal laut. Secara informasi sih relatif, sebab diperkotaan pun sudah dijangkau internet. Kalau kemampuan ekonomi, beasiswa pun sebenarnya ada. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? I have no idea.

Teman-teman angkatan saya semasa SMA pun sebenarnya banyak yang pintar (bahkan lebih pintar dari saya, ya walau saya gak bego-bego amat sih), tetapi hanya saya yang termasuk “beruntung” bisa menikmati pendidikan program sarjana dikampus ternama (universitas negeri) seperti ITB, itupun setelah menganggur setahun untuk belajar lagi dan mempelajari peta persaingan dipulau jawa (saya diterima di ITB lewat SNMPTN tertulis, sebab tahun 2008 dan 2009 belum ada penerimaan lewat jalur undangan).

Lalu, apakah universitas-universitas ternama ini kurang meng-indonesia timur? Tidak juga, soalnya toh ada juga siswa-siswi asal Indonesia timur yang diterima, sekalipun jumlahnya sedikit. Secara umum, kalau sedikit sekali anak-anak Indonesia timur yang mendapatkan pendidikan yang berkualitas (atau seminimal-minimalnya menamatkan jenjang S1), lalu siapa yang akan membangun daerah mereka? Siapa yang kelak duduk sebagai pemangku kebijakan disana, terutama di era otonomi khusus seperti ini? I have no idea.

Jika kita membelah Indonesia menjadi dua bagian, yaitu barat dan timur, mungkin daerah Sulawesi (mewakili bagian timur) cukup besar dalam menyumbang putra-putri terbaik mereka untuk masuk ke kampus-kampus terbaik di Indonesia, bahkan mampu lulus dengan baik, tepat waktu, bahkan cumlaude. Ironisnya adalah, semakin ketimur, semakin sepi. Lalu, kira-kira bagaimana putra-putri terbaik dari Indonesia timur dapat dijaring dalam jumlah besar dengan sistem yang ada sekarang? I have no idea.

Entah orang akan menyalahkan pemerintah, ketimpangan pembangunan antara barat dan timur, ketimpangan pendidikan antara barat dan timur, ketimpangan fasilitas dan sarana prasarana antara barat dan timur, tetapi yang pasti, siswa-siswi yang berasal dari Indonesia timur harus berusaha jauh lebih keras untuk bisa masuk berkuliah dikampus ternama melebihi usaha siswa-siswi di Indonesia barat. Dari posisi geografis pun itu sudah dapat terlihat, belum lagi jika kita melihat sendiri bagaimana kondisi anak-anak disana (ditimur).

Sekarang sudah era otonomi khusus. Anak-anak daerah disarankan untuk berusaha “lebih keras” untuk bisa masuk PTN ternama supaya kelak mereka bisa mengenyam pendidikan yang baik kemudian lulus dan kembali ke daerah untuk membangun daerahnya. Kalau memang anak-anak ini harus “berusaha jauh lebih keras”, sekarang, apakah dengan kebijakan yang ada sekarang, para elit perguruan tinggi maupun dikementerian pendidikan sudah merasa cukup dengan semua itu? Jika memang sudah cukup, tetapi mengapa masih sedikit yang diterima di PTN ternama? Serasa seperti loop of evil.

Setelah pusing berpikir penyebabnya akhirnya saya memilih untuk positive thinking. Mereka yang tidak masuk PTN ternama mungkin diawal sudah tidak berminat dan memilih untuk berkuliah di daerah masing-masing, entah karena dekat dengan orang tua (rumah), sudah punya usaha sendiri, sudah menjadi pegawai magang di instansi pemerintah, dan lain sebagainya. Namun, jika memang demikian, maka support PTN mapan dan kementerian pendidikan harus menyentuh universitas di daerah. Bukankah kementerian pendidikan adalah kementerian yang mengelola porsi APBN sangat besar di Indonesia? Terima kasih jika memang support telah diberikan.

No comments:

Post a Comment