Friday, July 24, 2015

Jadi orang asing di negeri sendiri



Nama saya marihot. Kalau orang mendengar nama saya, mungkin mereka akan segera bisa menebak apa suku saya, yaitu batak. Namun, ketika mereka bertanya asal saya, dan saya bertanya balik, “coba tebak!” dan mereka menjawab, “dari sumut” dan saya menjawab, “salah!” mereka jadi bingung. Yang jelas mereka tidak mungkin menebak “Jakarta” karena kulit saya yang gelap hahaha (sekalipun rambut tidak keriting, mata menyala) dan logat saya yang sedikit berbeda. Mereka lebih bingung lagi ketika saya mengatakan bahwa saya berasal dari merauke, kabupaten paling timur di Indonesia, yang terkenal melalui lagu perjuangan “dari sabang sampai merauke”. Pertanyaan selanjutnya dari orang-orang pasti bisa ditebak, “kok bisa kamu sampai kesana?” yang diiringi kebingungan mereka lagi ketika saya mengatakan bahwa saya lahir disana hahahaha.

Sebenarnya, salah satu resiko orang lahir diperantauan itu adalah tidak "jelas" darimana asalnya. Saya ini orang batak, tetapi tidak berasal dari sumut. Saya berasal dari merauke, tetapi tidak menunjukkan ciri orang Melanesia (yang turun temurun mendiami pulau papua). Lalu siapa saya sebenarnya? Hahaha.

Satu hal yang mungkin terdengar skeptis, tetapi sebenarnya adalah realita ialah tatkala baik disumatera utara maupun di papua, saya tetap orang “asing”. Di sumut, yang kenal saya hanya keluarga besar saja, dan tentu saja kalau di sumut saya akan disebut orang papua (ketika saya pulang kampung, saya memang disebut demikian oleh beberapa orang hehehe). Di papua, yang kenal sih banyak, tetapi tetap saya bukan aseli disitu, melainkan orang batak yang “kebetulan” lahir disana ahahaha. Sebagai perantau, mungkin takdir yang saya harus akui dengan lapang dada adalah dimanapun saya berdiri, saya tetap orang “asing”.

orang asing seperti saya mungkin akan mengalami beberapa hal aneh, apalagi dalam hal identitas budaya. Orang batak dari papua, tetapi tidak bisa berbicara dalam bahasa batak (sekalipun kalau dengerin orang ngomong sih ngerti). Berbahasa papua pun (misal suku marind) saya tidak bisa. Namun, pakaian adat saya ya ulos. Lalu bagaimana? Bingung kan yah?

Sebenarnya bukan hal yang buruk menjadi orang “asing”. Toh, selama menjadi batak dan punya marga masih dianggap batak lah ya hahaha hanya saja mungkin perantau harus berusaha lebih keras untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kemanusian karena status orang “asing” ini (apalagi dengan era otsus sekarang). Namun, setidaknya saya masih warga negara Indonesia, berpaspor Indonesia, dan berKTP merauke. Baik perantau maupun warga lokal sama-sama dilindungi oleh hukum; dan tentu saja kepada mereka dikenakan hukum sebagaimana yang berlaku dalam konstitusi.

Tetap semangat untuk para perantau. Kehidupan memihak pada yang kuat.

No comments:

Post a Comment