Nama saya marihot. Kalau orang mendengar nama saya, mungkin
mereka akan segera bisa menebak apa suku saya, yaitu batak. Namun, ketika
mereka bertanya asal saya, dan saya bertanya balik, “coba tebak!” dan mereka
menjawab, “dari sumut” dan saya menjawab, “salah!” mereka jadi bingung. Yang
jelas mereka tidak mungkin menebak “Jakarta” karena kulit saya yang gelap
hahaha (sekalipun rambut tidak keriting, mata menyala) dan logat saya yang
sedikit berbeda. Mereka lebih bingung lagi ketika saya mengatakan bahwa saya
berasal dari merauke, kabupaten paling timur di Indonesia, yang terkenal
melalui lagu perjuangan “dari sabang sampai merauke”. Pertanyaan selanjutnya
dari orang-orang pasti bisa ditebak, “kok bisa kamu sampai kesana?” yang
diiringi kebingungan mereka lagi ketika saya mengatakan bahwa saya lahir disana
hahahaha.
Sebenarnya, salah satu resiko orang lahir diperantauan itu
adalah tidak "jelas" darimana asalnya. Saya ini orang batak, tetapi tidak berasal
dari sumut. Saya berasal dari merauke, tetapi tidak menunjukkan ciri orang
Melanesia (yang turun temurun mendiami pulau papua). Lalu siapa saya
sebenarnya? Hahaha.
Satu hal yang mungkin terdengar skeptis, tetapi sebenarnya
adalah realita ialah tatkala baik disumatera utara maupun di papua, saya tetap
orang “asing”. Di sumut, yang kenal saya hanya keluarga besar saja, dan tentu
saja kalau di sumut saya akan disebut orang papua (ketika saya pulang kampung,
saya memang disebut demikian oleh beberapa orang hehehe). Di papua, yang kenal
sih banyak, tetapi tetap saya bukan aseli disitu, melainkan orang batak yang
“kebetulan” lahir disana ahahaha. Sebagai perantau, mungkin takdir yang saya
harus akui dengan lapang dada adalah dimanapun saya berdiri, saya tetap orang
“asing”.
orang asing seperti saya mungkin akan mengalami beberapa hal
aneh, apalagi dalam hal identitas budaya. Orang batak dari papua, tetapi tidak
bisa berbicara dalam bahasa batak (sekalipun kalau dengerin orang ngomong sih
ngerti). Berbahasa papua pun (misal suku
marind) saya tidak bisa. Namun, pakaian adat saya ya ulos. Lalu bagaimana?
Bingung kan yah?
Sebenarnya bukan hal yang buruk menjadi orang “asing”. Toh,
selama menjadi batak dan punya marga masih dianggap batak lah ya hahaha hanya saja mungkin perantau harus berusaha lebih keras untuk
mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kemanusian karena status
orang “asing” ini (apalagi dengan era otsus sekarang). Namun, setidaknya saya
masih warga negara Indonesia, berpaspor Indonesia, dan berKTP merauke. Baik
perantau maupun warga lokal sama-sama dilindungi oleh hukum; dan tentu saja
kepada mereka dikenakan hukum sebagaimana yang berlaku dalam konstitusi.
Tetap semangat untuk para perantau. Kehidupan memihak pada yang kuat.
No comments:
Post a Comment