akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya di perbincangkan mengenai OSKM 2012, khususnya kritik terhadap pelaksanaan OSKM 2012 yang konon katanya di lemparkan oleh senior yang sudah terlebih dahulu kenyang asam garam dalam mengader angkatan yang baru masuk. Terlepas dari siapa yang benar atau salah, saya hanya ingin melemparkan pandangan sebagai massa kampus yang awam.
Ada orang, atau segolongan orang yang menganut paham bahwa kaderisasi haruslah berjalan ideal, sekalipun keadaan ideal itu hampir mustahil terjadi. Justru karena keadaan ideal sulit dicapai, maka seorang pengader harus berusaha sampai batas tertentu, baik dari segi kuantitas maupun kualitas agar kaderisasi yang dilakukan berjalan dengan optimal. Jika idealisme dibenturkan dengan realita, mau tidak mau kita harus berhadapan dengan kritik, bahkan yang pedas dan merendahkan martabat sekalipun. Secara natural ego manusia memang anti terhadap kritik. Namun, apapun bentuk dari kritik itu, haruslah dengan lapang dada diterima apa yang baik, dan yang tidak baik segeralah dibuang. Jika menyikapi kritik dengan ego, apalagi ego komunal, niscaya yang terjadi hanyalah debat kusir semata.
Lalu, mungkin pihak dikritik akan merasa bahwa mereka sudah berusaha sekeras ini dan mereka akan menggumam didalam hati bahwa pengkritik itu tidak berhak menyatakan kritik seperti yang dilemparkan karena pihak pengkritik tidak melihat pihak yang dikritik dalam berusaha. Namun, disatu sisi, pihak yang dikritik sama sekali tidak melihat bagaimana pihak pengkritik dulu berusaha untuk menyiapkan kegiatan kaderisasi seperti OSKM, bukan? sekalipun belum tentu terjadi disemua kejadian, tetapi hasil adalah cerminan proses. Pihak pengkritik bisa membandingkan hasil yang sekarang dengan hasil terdahulu, dan sesuai UUD 1945, kemerdekaan menyatakan pendapat itu sah. Mereka bisa memberikan penilaian, sekalipun secara de jure tidak ada yang memberi mereka hak. suka atau tidak suka, pihak yang dikritik pun harus menerima kenyataan bahwa ada pihak diluar sana yang sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.
Sebenarnya, semua proses mulai dari diklat, forsil, kajian, dsb ingin menghasilkan apa? menghasilkan panitia yang berkompeten? atau, menghasilkan kader yang mengetahui apa, siapa, bagaimana, kapan, mengapa, atau apapun tentang dirinya sebagai mahasiswa? hasillah yang kita kejar melalui proses. jika hasil yang kita harapkan adalah mahasiswa baru mengetahui tentang sesuatu, mengapa tidak fokus saja ke hal itu? Apa kata para kader melihat respon pengader mereka saat pengader mereka dikritik jikalau pengader mereka merespon negatif
kritik yang dilempar terhadap mereka? Melihat tingkat subyektivitas
yang tinggi di Indonesia, asumsi saya, para kader lebih cenderung
melihat teladan para pengader mereka. kalau kader-kader melihat pengader mereka sebagai pihak yang antikritik,
bagaimana dengan kader-kader ini dimasa datang? mungkin saja mereka akan
jauh lebih antikritik. Lalu, tercapaikah tujuan melaksanakan ini dan itu?
Bagi pihak pengkritik, jika mereka merasa bahwa mereka adalah kaum intelek bangsa, mungkin lebih baik memberi tanggapan yang obyektif. Obyektif dalam hemat saya, bisa menjabarkan kekurangan panitia dari sisi kuantitas maupun kualitas, dan disertai dengan pembanding. Jika sudah, terima kasih harus dilontarkan panitia kepada para pengkritik, terlepas dari gaya bahasa atau penggunaan kata yang mungkin terkesan memojokkan panita. Namun, menurut hemat saya, metode penyampaian kritik seharusnya tidak perlu dipedulikan, kita cukup peduli pada inti yang ingin disampaikan demi pembaharuan kedepannya.
Kemudian, bagi mereka yang jauh dari bandung, entah sedang kerja praktik atau liburan atau apapun sebaiknya tidak perlu ikut memberi komentar karena mereka tidak melihat sendiri kejadian di lapangan. semua mengakui bahwa lapangan itu dinamis. Implikasinya, kejadian dilapangan pun bisa mengeluarkan tanggapan yang dinamis juga. Kalau hendak memberikan komentar, komentari/klarifikasi saja pendapat para pengkritik, apakah benar sudah obyektif atau tidak. Jangan malah berkomentar untuk membela panitia atas motif kekeluargaan dan solidaritas, tetapi kejadian dilapangan sendiri mereka tidak melihat. hal itu sama saja dengan prosa lama, "orang buta menuntun orang buta, keduanya jatuh kedalam jurang". Janganlah muncul niatan untuk melancarkan aksi balasan, apalagi ditujukan kepada satu oknum dan membawa-bawa nama lembaga. Itu tidak dewasa.
sekarang adalah bulan puasa. disaat banyak yang berpuasa, kendali atas emosi sangat diperlukan, apalagi untuk kegiatan yang menguras energi lahir dan batin seperti OSKM. Kalau memang ada oknum dalam panitia yang tidak suka dikritik, mengapa yang bersangkutan mau menjadi panitia? mau berkegiatan berarti harus siap untuk dikritik. Lalu, andaikata ada segolongan orang yang tidak suka dikritik, mengapa sesuai pelaksanaan dilaksanakan evaluasi? bukankah salah satu kegunaan evaluasi adalah menjabarkan kekurangan-kekurangan yang terjadi agar tidak terjadi lagi kedepannya?
jika dikritik, tidak perlu membela diri, apalagi ofensif. Terima saja semua yang baik dan buang semua yang tidak baik. orang yang dewasa pasti bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak, bukan?
bagi para pengkritik, terima kasih atas masukannya. setiap kritik, apapun metode penyampaiannya, pasti ada hikmah yang bisa diambil.
mari saling belajar, mari saling mengembangkan diri. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. sadarkah anda, gesekan antar besi itu dapat menimbulkan percikan api?